Kisah Nyata
Kisah Nyata : ... BE A SMART PATIENT ..!! ...
 
 Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Malik tergolek lemas. Matanya sayu. 
Bibirnya pecah-pecah. Wajahnya kian tirus. Di mataku ia berubah seperti 
anak dua tahun kurang gizi. Biasanya aku selalu mendengar celoteh dan 
tawanya di pagi hari. Kini tersenyum pun ia tak mau. Sesekali ia muntah.
 
 
 Dan setiap melihatnya muntah, hatiku …tergores-gores rasanya.
 Lambungnya diperas habis-habisan seumpama ampas kelapa yang tak lagi 
bisa mengeluarkan santan. Pedih sekali melihatnya terkaing-kaing seperti
 itu.
 
 Waktu itu, belum sebulan aku tinggal di Belanda, dan 
putraku Malik terkena demam tinggi. Setelah tiga hari tak juga ada 
perbaikan aku membawanya ke huisart (dokter keluarga) kami, dokter Knol 
namanya.
 
 “Just wait and see. Don’t forget to drink a lot. Mostly this is a viral infection.” kata dokter tua itu.
 
 “Ha? Just wait and see? Apa dia nggak liat anakku dying begitu?” 
batinku meradang. Ya…ya…aku tahu sih masih sulit untuk menentukan 
diagnosa pada kasus demam tiga hari tanpa ada gejala lain. Tapi masak 
sih nggak diapa-apain. Dikasih obat juga enggak! Huh! Dokter Belanda 
memang keterlaluan! Aku betul-betul menahan kesal.
 
 “Obat penurun panas Dok?” tanyaku lagi.
 “Actually that is not necessary if the fever below 40 C.”
 
 Waks! Nggak perlu dikasih obat panas? Kalau anakku kenapa-kenapa memangnya dia mau nanggung? Kesalku kian membuncah.
 Tapi aku tak ingin ngeyel soal obat penurun panas. 
 
 Sebetulnya di rumah aku sudah memberi Malik obat penurun panas, tapi 
aku ingin dokter itu memberi obat jenis lain. Sudah lama kudengar bahwa 
dokter disini pelit obat. Karena itu aku membawa setumpuk obat-obatan 
dari Indonesia, termasuk obat penurun panas.
 
 Dua hari kemudian,
 demam Malik tak kunjung turun dan frekuensi muntahnya juga bertambah. 
Aku segera kembali ke dokter. Tapi si dokter tetap menyuruhku wait and 
see. Pemeriksaan laboratorium baru akan dilakukan bila panas anakku 
menetap hingga hari ke tujuh.
 
 “Anakku ini suka muntah-muntah juga Dok,” kataku.
 Lalu si dokter menekan-nekan perut anakku. “Apakah dia sudah minum suatu obat?”
 
 Aku mengangguk. “Ibuprofen syrup Dok,” jawabku.
 
 Eh tak tahunya mendengar jawabanku, si dokter malah 
ngomel-ngomel,”Kenapa kamu kasih syrup Ibuprofen? Pantas saja dia 
muntah-muntah. Ibuprofen itu sebaiknya tidak diberikan untuk anak-anak, 
karena efeknya bisa mengiritasi lambung. Untuk anak-anak lebih baik beri
 paracetamol saja.”
 
 Huuh! Walaupun dokter itu mengomel sambil 
tersenyum ramah, tapi aku betul-betul jengkel dibuatnya. Jelek-jelek 
begini gue lulusan fakultas kedokteran tau! Nah kalau buat anak nggak 
baik kenapa di Indonesia obat itu bertebaran! Batinku meradang.
 
 Untungnya aku masih bisa menahan diri. Tapi setibanya dirumah, suamiku langsung menjadi korban kekesalanku.
 
 ”Lha wong di Indonesia, dosenku aja ngasih obat penurun panas nggak 
pake diukur suhunya je. Mau 37 keq, 38 apa 39 derajat keq, tiap ke 
dokter dan bilang anakku sakit panas, penurun panas ya pasti dikasih. 
Sirup ibuprofen juga dikasih koq ke anak yang panas, bukan cuma 
parasetamol. Masa dia bilang ibuprofen nggak baik buat anak!” Seperti 
rentetan peluru, kicauanku bertubi-tubi keluar dari mulutku.
 
 
“Mana Malik nggak dikasih apa-apa pulak, cuma suruh minum parasetamol 
doang, itu pun kalau suhunya diatas 40 derajat C! Duuh memang 
keterlaluan Yah dokter Belanda itu!”
 
 Suamiku menimpali, “Lho, kalau Mama punya alasan, kenapa tadi nggak bilang ke dokternya?”
 
 Aku menarik napas panjang. “Hmm…tadi aku sudah kadung bete sama si 
dokter, rasanya ingin buru-buru pulang saja. Tapi…alasannya apa ya?”
 
 Mendadak aku kebingungan. Aku akui, sewaktu praktek menjadi dokter 
dulu, aku lebih banyak mencontek apa yang dilakukan senior. Tiga bulan 
menjadi co-asisten di bagian anak memang membuatku kelimpungan dan 
belajar banyak hal, tapi hanya secuil-secuil ilmu yang kudapat
 
 .
 Persis seperti orang yang katanya travelling keliling Eropa dalam dua 
minggu. Menclok sebentar di Paris, lalu dua hari pergi ke Roma. Dua hari
 di Amsterdam, kemudian tiga hari mengunjungi Vienna. Puas beberapa hari
 berdiam di Berlin dan Swiss, kemudian waktu habis. Tibalah saatnya 
pulang lagi ke Indonesia. 
 
 Tampaknya orang itu sudah keliling 
Eropa, padahal ia hanya mengunjungi ibukota utama saja. Masih banyak 
sekali negara dan kota-kota di Eropa yang belum disambanginya. Dan itu 
lah yang terjadi pada kami, pemuda-pemudi fresh graduate from the oven 
Fakultas Kedokteran. 
 
 Malah kadang-kadang apa yang sudah kami 
pelajari dulu, kasusnya tak pernah kami jumpai dalam praktek 
sehari-hari. Berharap bisa memberikan resep cespleng seperti 
dokter-dokter senior, akhirnya kami pun sering mengintip resep ajian 
senior!
 
 Setelah Malik sembuh, beberapa minggu kemudian, Lala, 
putri pertamaku ikut-ikutan sakit. Suara Srat..srut..srat srut dari 
hidungnya bersahut-sahutan. Sesekali wajahnya memerah gelap dan bola 
matanya seperti mau copot saat batuknya menggila. Kadang hingga 
bermenit-menit batuknya tak berhenti. 
 
 Sesak rasanya dadaku 
setiap kali mendengarnya batuk. Suara uhuk-uhuk itu baru reda jika ia 
memuntahkan semua isi perut dan kerongkongannya. Duuh Gustiiii…kenapa 
tidak Kau pindahkan saja rasa sakitnya padaku Nyerii rasanya hatiku 
melihat rautnya yang seperti itu. 
 
 Kuberikan obat batuk yang 
kubawa dari Indonesia pada putriku. Tapi batuknya tak kunjung hilang dan
 ingusnya masih meler saja. Lima hari kemudian, Lala pun segera kubawa 
ke huisart. Dan lagi-lagi dokter itu mengecewakan aku.
 
 “Just drink a lot,” katanya ringan.
 
 Aduuuh Dook! Tapi anakku tuh matanya sampai kayak mata sapi melotot kalau batuk, batinku kesal.
 
 “Apa nggak perlu dikasih antibiotik Dok?” tanyaku tak puas.
 
 “This is mostly a viral infection, no need for an antibiotik,” jawabnya lagi.
 
 Ggrh…gregetan deh rasanya. Lalu ngapain dong aku ke dokter, kalo tiap 
ke dokter pulang nggak pernah dikasih obat. Paling enggak kasih vitamin 
keq! omelku dalam hati.
 “Lalu Dok, buat batuknya gimana Dok? Batuknya tuh betul-betul terus-terusan,” kataku ngeyel.
 
 Dengan santai si dokter pun menjawab,”Ya udah beli aja obat batuk Thyme syrop. Di toko obat juga banyak koq.”
 
 Hmm…lumayan lah… kali ini aku pulang dari dokter bisa membawa obat, 
walau itu pun harus dengan perjuangan ngeyel setengah mati dan walau 
ternyata isi obat Thyme itu hanya berisi ekstrak daun thyme dan madu.
 
 “Kenapa sih negara ini, katanya negara maju, tapi koq dokternya kayak 
begini.” Aku masih saja sering mengomel soal huisart kami kepada 
suamiku. Saat itu aku memang belum memiliki waktu untuk berintim-intim 
dengan internet. Jadi yang ada di kepalaku, cara berobat yang betul 
adalah seperti di Indonesia. 
 
 Di Indonesia, anak-anakku punya 
langganan beberapa dokter spesialis anak. Dokter-dokter ini pernah 
menjadi dosenku ketika aku kuliah. Maklum, walaupun aku lulusan fakultas
 kedokteran, tapi aku malah tidak pede mengobati anakanakku sendiri. Dan
 walaupun anak-anakku hanya menderita penyakit sehari-hari yang umum 
terjadi pada anak seperti demam, batuk pilek, mencret, aku tetap membawa
 mereka ke dokter anak. 
 
 Meski baru sehari, dua atau tiga hari 
mereka sakit, buru-buru mereka kubawa ke dokter. Tak pernah aku pulang 
tanpa obat. Dan tentu saja obat dewa itu, sang antibiotik, selalu ada 
dalam kantong plastik obatku.
 
 Tak lama berselang putriku memang
 sembuh. Tapi sebulan kemudian ia sakit lagi. Batuk pilek putriku kali 
ini termasuk ringan, tapi hampir dua bulan sekali ia sakit. Dua bulan 
sekali memang lebih mendingan karena di Indonesia dulu, hampir tiap dua 
minggu ia sakit. Karena khawatir ada yang tak beres, lagi-lagi aku 
membawanya ke huisart.
 
 “Dok anak ini koq sakit batuk pilek melulu ya, kenapa ya Dok.?
 
 Setelah mendengarkan dada putriku dengan stetoskop, melihat tonsilnya, 
dan lubang hidungnya,huisart-ku menjawab,”Nothing to worry. Just a viral
 infection.”
 
 Aduuuh Doook… apa nggak ada kata-kata lain selain viral infection seh! Lagilagi aku sebal.
 
 “Tapi Dok, dia sering banget sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok,” aku ngeyel seperti biasa.
 
 Dokter tua yang sebetulnya baik dan ramah itu tersenyum. “Do you know how many times normally children get sick every year?”
 
 Aku terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. “enam kali,” jawabku asal.
 
 “Twelve time in a year, researcher said,” katanya sambil tersenyum 
lebar. “Sebetulnya kamu tak perlu ke dokter kalau penyakit anakmu tak 
terlalu berat,” sambungnya.
 
 Glek! Aku cuma bisa menelan ludah. 
Dijawab dengan data-data ilmiah seperti itu, kali ini aku pulang ke 
rumah dengan perasaan malu. Hmm…apa aku yang salah? Dimana salahnya? Ah 
sudahlah…barangkali si dokter benar, barangkali memang aku yang selama 
ini kurang belajar.
 
 Setelah aku bisa beradaptasi dengan 
kehidupan di negara Belanda, aku mulai berinteraksi dengan internet. 
Suatu saat aku menemukan artikel milik Prof. Iwan Darmansjah, seorang 
ahli obat-obatan dari Fakultas Kedokteran UI. B
 
 unyinya begini:
 “Batuk – pilek beserta demam yang terjadi sekali-kali dalam 6 – 12 
bulan sebenarnya masih dinilai wajar. Tetapi observasi menunjukkan bahwa
 kunjungan ke dokter bisa terjadi setiap 2 – 3 minggu selama 
bertahun-tahun.” Wah persis seperti yang dikatakan huisartku, batinku. 
Dan betul anak-anakku memang sering sekali sakit sewaktu di Indonesia 
dulu.
 
 “Bila ini yang terjadi, maka ada dua kemungkinan 
kesalahkaprahan dalam penanganannya,” Lanjut artikel itu. “Pertama, 
pengobatan yang diberikan selalu mengandung antibiotik. Padahal 95% 
serangan batuk pilek dengan atau tanpa demam disebabkan oleh virus, dan 
antibiotik tidak dapat membunuh virus. 
 
 Di lain pihak, 
antibiotik malah membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga
 keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga 
mengurangi imunitas si anak, sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya 
anak jatuh sakit setiap 2 – 3 minggu dan perlu berobat lagi.
 
 
Lingkaran setan ini: sakit –> antibiotik-> imunitas menurun -> 
sakit lagi, akan membuat si anak diganggu panas-batuk-pilek sepanjang 
tahun, selama bertahun-tahun.”
 
 Hwaaaa! Rupanya ini lah yang 
selama ini terjadi pada anakku. Duuh…duuh..kemana saja aku selama ini 
sehingga tak menyadari kesalahan yang kubuat sendiri pada anak-anakku. 
Eh..sebetulnya..bukan salahku dong. Aku kan sudah membawa mereka ke 
dokter spesialis anak. Sekali lagi, mereka itu dosenku lho! Masa sih aku
 tak percaya kepada mereka. 
 
 Dan rupanya, setelah di Belanda 
‘dipaksa’ tak lagi pernah mendapat antibiotik untuk penyakit khas 
anak-anak sehari-hari, sekarang kondisi anak-anakku jauh lebih baik. 
Disini, mereka jadi jarang sakit, hanya diawal-awal kedatangan saja 
mereka sakit.
 
 Kemudian, aku membaca lagi artikel-artikel lain 
milik prof Iwan Darmansjah. Dan di suatu titik, aku tercenung mengingat 
kata-kata ‘pengobatan rasional’. Lho…bukankah dulu aku juga pernah 
mendapatkan kuliah tentang apa itu pengobatan rasional. 
 
 Hey! 
Lalu kemana perginya ingatan itu? Jadi, apa yang selama ini kulakukan, 
tidak meneliti baik-baik obat yang kuberikan pada anak-anakku, 
sedikit-sedikit memberi obat penurun panas, sedikit-sedikit memberi 
antibiotik, baru sehari atau dua hari anak mengalami sakit ringan 
seperti, batuk, pilek, demam, mencret, aku sudah panik dan segera 
membawa anak ke dokter, serta sedikit-sedikit memberi vitamin. 
 
 Rupanya adalah tindakan yang sama sekali tidak rasional! Hmm… kalau 
begitu, sistem kesehatan di Belanda adalah sebuah contoh sistem yang 
menerapkan betul apa itu pengobatan rasional.
 
 Belakangan aku 
pun baru mengetahui bahwa ibuprofen memang lebih efektif menurunkan 
demam pada anak, sehingga di banyak negara termasuk Amerika Serikat, 
ibuprofen dipakai secara luas untuk anakanak. Tetapi karena resiko efek 
sampingnya lebih besar, Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain. 
 
 Walaupun obat ibuprofen juga tersedia di apotek dan boleh digunakan 
untuk usia anak diatas 6 bulan, namun di kedua negara ini, parasetamol 
tetap dinyatakan sebagai obat pilihan pertama pada anak yang mengalami 
demam. “Duh, untung ya Yah aku nggak bilang ke huisart kita kalo aku ini
 di Indonesia adalah seorang dokter. Kalo iya malu-maluin banget nggak 
sih, ketauan begonya hehe,” kataku pada suamiku.
 
 Jadi, 
bagaimana dengan para orangtua di Indonesia? Aku tak ingin berbicara 
terlalu jauh soal mereka-mereka yang tinggal di desa atau orang-orang 
yang terpinggirkan, ceritanya bisa lain. Karena kekurangan dan 
ketidakmampuan, untuk kasus penyakit anak sehari-hari, orang-orang desa 
itu malah relatif ‘terlindungi’ dari paparan obat-obatan yang tak perlu.
 
 Sementara kita yang tinggal di kota besar, yang cukup berduit, sudah 
melek sekolah, internet dan pengetahuan, malah kebanyakan selalu 
dokter-minded dan gampang dijadikan sasaran oleh perusahaan obat dan 
media. Batuk pilek sedikit ke dokter, demam sedikit ke dokter, mencret 
sedikit ke dokter. 
 
 Kalau pergi ke dokter lalu tak diberi obat,
 biasanya kita malah ngomel-ngomel, ‘memaksa’ agar si dokter memberikan 
obat. Iklan-iklan obat pun bertebaran di media, bahkan tak jarang 
dokter-dokter ‘menjual’ obat tertentu melalui media. Padahal mestinya 
dokter dilarang mengiklankan suatu produk obat.
 
 Dan bagaimana 
pula dengan teman-teman sejawatku dan dosen-dosenku yang kerap 
memberikan antibiotik dan obat-obatan yang tidak perlu pada pasien 
batuk, pilek, demam, mencret? Malah aku sendiri dulu pun melakukannya 
karena nyontek senior. Apakah manfaatnya lebih besar dibandingkan 
resikonya?
 
 Tentu saja tidak. Biaya pengobatan membengkak, anak 
malah gampang sakit dan terpapar obat yang tak perlu. Belum lagi bahaya 
besar jelas mengancam seluruh umat manusia: superbug, resitensi 
antibiotik! Tapi mengapa semua itu terjadi?
 
 Duuh Tuhan, aku 
tahu sesungguhnya Engkau tak menyukai sesuatu yang sia-sia dan tak ada 
manfaatnya. Namun selama ini aku telah alpa. Sebagai orangtua, bahkan 
aku sendiri yang mengaku lulusan fakultas kedokteran ini, telah terlena 
dan tak menyadari semuanya. Aku tak akan eling kalau aku tidak 
menyaksikan sendiri dan tidak tinggal di negeri kompeni ini. 
 
 
Apalagi dengan masyarakat awam, para orangtua baru yang memiliki 
anak-anak kecil itu. Jadi bagaimana mengurai keruwetan ini seharusnya? 
Uh! Memikirkannya aku seperti terperosok ke lubang raksasa hitam. Aku 
tak tahu, sungguh!
 
 Tapi yang pasti kini aku sadar…telah terjadi
 kesalahan paradigma pada kebanyakan kita di Indonesia dalam menghadapi 
anak sakit. Disini aku sering pulang dari dokter tanpa membawa obat. Aku
 ke dokter biasanya ‘hanya’ untuk konsultasi, memastikan diagnosa 
penyakit anakku dan penanganan terbaiknya, serta meyakinkan diriku bahwa
 anakku baik-baik saja.
 
 Tapi di Indonesia, bukankah paradigma 
yang masih kerap dipegang adalah ke dokter = dapat obat? Sehingga tak 
jarang dokter malah tidak bisa bertindak rasional karena tuntutan 
pasien. Aku juga sadar sistem kesehatan di Indonesia memang masih ruwet.
 Kebijakan obat nasional belum berpihak pada rakyat. 
 
 
Perusahaan obat bebas beraksi‘ tanpa ada peraturan dan hukum yang tegas 
dari pemerintah. Dokter pun bebas meresepkan obat apa saja tanpa ngeri 
mendapat sangsi. Intinya, sistem kesehatan yang ada di Indonesia saat 
ini membuat dokter menjadi sulit untuk bersikap rasional.
 
 Lalu 
dimana ujung pangkal salahnya? Ah rasanya percuma mencari-cari ujung 
pangkal salahnya. Menunjuk siapa yang salah pun tak ada gunanya. Tapi 
kondisi tersebut jelas tak bisa dibiarkan.
 
 Siapa yang harus 
memulai perubahan? Pemerintah, dokter, petugas kesehatan, perusahaan 
obat, tentu semua harus berubah. Namun, dalam kondisi seperti ini, 
mengharapkan perubahan kebijakan pemerintah dalam waktu dekat sungguh 
seperti pungguk merindukan bulan.
 
 Yang pasti, sebagai pasien 
kita pun tak bisa tinggal diam. Siapa bilang pasien tak punya kekuatan 
untuk merubah sistem kesehatan? Setidaknya, bila pasien ‘bergerak’, 
masalah kesehatan di Indonesia, utamanya kejadian pemakaian obat yang 
tidak rasional dan kesalahan medis tentu bisa diturunkan.
 
 Wallahu’alam bishshawab, ..
 Wabillahi Taufik Wal Hidayah, ...
 
 Salam Terkasih ..
 Dari Sahabat Untuk Sahabat ...
 
 ... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...
 
 ~ o ~
 
 Salam santun dan keep istiqomah ...
 
 --- Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini
 ... Itu hanyalah dari kami ... dan kepada Allah SWT., kami mohon 
ampunan ... ----
 
 Semoga bermanfaat dan Penuh Kebarokahan dari Allah ...
  
 #BERSIHKAN HATI MENUJU RIDHA ILAHI#
 ------------------------------------------------
 .... Subhanallah wabihamdihi Subhanakallahumma Wabihamdika Asyhadu Allailaaha Illa Anta Astaghfiruka Wa'atuubu Ilaik ....
terima kasih kepada muslimah. atas kisahnya 
 
 
 
          
      
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
No comments:
Post a Comment